Powered By Blogger

Selasa, 22 Mei 2018

Teologi Agama-agama

Shalom Bapak Ibu,
Pada kesempatan kali ini saya mencoba membagikan sidikit artikel untuk menambah wawasan kita.

4.2.3. Apakah Parlemen Agama-Agama itu?
Kata Parlemen selalu mengandaikan wahana demokrasi, yang  pada gilirannya merupakan sebuah produk dari perkembangan sosial dan politis dari modernitas. Tentu para pemimpin  atau panitia pelaksana Parlemen tidak begitu saja mengindentikkan Parlemen Agama-agama dengan demokrasi , namun ia menyiratkan adanya prinsip-prinsip demokratis yang mendasar. Jadi, nyatalah bahwa hendak selalu dijaga dua karakteristik Parlemen ini, yaitu sebagai  encounter  dan movement. Jadi, jelaslah keberhasilan Parlemen tidak ditentukan dari institusi yang lahir darinya, namun dari gerakan-gerakan yang dijiwai oleh pertemuan global ini serta dari semangat  kesetaraan yang mau tidak mau mengingatkan kita pada semangat demokrasi itu sendiri.

4.2.4. Ketika Perbedaan Bertemu dalam Satu Ruang
Parlemen Agama-agama Dunia ini tak disangkal menjadi  tonggak sejarah  yang penting bagi masa depan kehidupan agama-agama dunia. Persaudaraan sejagad mulai menjadi tema sentral dalam banyak percakapan di Parlemen. Namun tak dapat disangkal pula terjadi banyak perbedaan dalam cara melihat kenyataan keberagaman tersebut, yang cukup jelas terlihat bahkan di antara para pelopor itu sendiri.

4.2.5. Dominasi  Kekristenan  Amerika?
Mengenai Parlemen 1893 ini, Dr. Alfred  W. Momerie, seorang professor dari King’s College London, menyatakan, “parlemen ini merupakan peristiwa terbesar sepanjang sejarah  dunia dan itu telah diselenggarakan di ladang Amerika”. Pendapat Momerie ini menyiratkan kemungkinan untuk menelaah Parlemen 1893 ini baik dari sudut pandang sejarah gerakan antar-iman global, maupun sejarah kehidupan agama di Amerika sendiri. Sebagai produk “kebudayaan” Amerika saat itu, Parlemen bisa dikatakan sebagai tanda kebangkitan bangsa Amerika dalam percaturan dunia. Kekhawatiran akan adanya dominasi kekristenan Amerika dalam Parlemen ini cukup beralasan . Superioritas Amerika atas bangsa-bangsa lain ini kemudian dikaitkan dengan superioritas kekristenan (Protestanisme). Amerika telah menjadi sentral agama-agama dan bangsa-bangsa.
4.2.6. Beberapa Penilaian
Parlemen 1893 ini meninggalkan warisan penting bagi perkembangan gerakan antar-iman, yaitu : Parlemen memberi dorongan besar bagi bidang akademis, yaitu studi komparatif dan historis agama-agama, untuk berkembang. Kemudian muncul semangat baru di kalangan pemimpin agama untuk berdialog dengan pemimpin agama-agama lain. Parlemen ini memberi dasar khususnya bagi terbentuknya gerakan oikumenis di kalangan Protestan, bahkan menjadi tempat percampuran rangkap tiga, triple melting pot, bagi tiga tradisi utama : Yudaisme, Kekristenan, dan Katolikisme.

4.3. Situasi Historis Pelaksanaan Parlemen 1993
Setelah 100 tahun berlalu, Parlemen Agama-agama Dunia kembali digelar. Parlemen kedua ini dilangsungkan sebagai sebuah respons atas situasi global yang terjadi dalam beberapa dekade terakhir sekaligus menjadi sebuah proyek agama-agama sedunia untuk membentuk sebuah tata dunia baru (a new global order) yang lebih manusiawi.

4.3.1. Bangkitnya Dunia Postmodern
Dua puluh satu tahun setelah Parlemen pertama dan hanya empat tahun setelah konferensi Misi Dunia (World Missionary Conference) Edinburgh, pecahlah Perang Dunia I, yang berlangsung sekitar empat tahun (1914-1918). Negara-negara Kristen adikuasa saat itu (Jerman dan Inggris Raya) diguncang luar biasa. Dari beberapa peristiwa besar dunia kita melihat adanya sebuah pergeseran global dari apa yang biasa disebut dunia modern menuju sebuah dunia yang postmodern. Dalam Parlemen 1993, keberagaman religius dipandang sebagai sebuah kenyataan yang tak bisa dipungkiri. Kekristenan tidak lagi diklaim sebagai agama tertinggi dan terbaik. Agama-agama lain dihargai sebagaimana adanya mereka. Hal ini menjadi jelas ketika kita melihat banyaknya tusan dari agama-agama lain, bahkan dari tradisi-tradisi religius yang kecil.
4.3.2. Chicago sebagai Model
Yang menarik, Chicago yang berwajah plural dan yang telah dua kali menjadi kota penyelenggara Parlemen Agama-agama Dunia itu justru menjadi satu-satunya kota metropolitan di Amerika Serikat yang tidak memiliki satu organisasi antar-iman sendiri. Namun Chicago dapat dipandang sebagai mikrokosmos yang menggambarkan seluruh wajah makrokosmos kehidupan plural dunia.

4.4. Parlemen Agama-agama Dunia 1993
Pembicaraan mengenai Parlemen Agama-agama Dunia 1993 menjadi begitu penting artinya jika diletakkan dalam kedua konteks, yaitu konteks sejarah dialog agama-agama dan konteks sejarah dunia. Parlemen 1993 di satu sisi menjadi semacam tonggak puncak perkembangan dialog agama-agama di dunia sekaligus menjadi sebuah respons atas perkembangan global yang semakin mencuat ini.

4.4.1. Ammerdown, April 1988, Sebuah Titik awal
Ammerdown, Inggris, perlu dicatat sebagai kota pertama kalinya tecetus secara serius dan sistematis keinginan untuk mengadakan sebuah pertemuan internasional dalam rangka memperingati 100 tahun Parlemen Agama-agama Dunia di Chicago, 1893. Pertemuan kedua di Ammerdown ini amat diwarnai dengan sebuah kesadaran betapa penting agama-agama hadir di tengah kenyataan global yang semakin menguat ini. Satu hasil konkret pertemuan Ammerdown ini adalah seruan untuk menyelenggarakan sebuah “peringatan yang mendunia atas seratus tahun Parlemen  Agama-agama Dunia”. Tujuan utama peringatan 100 tahun Parlemen tersebut adalah “mengamati dan menjawab isu-isu dunia yang eksistensial yang mengundang sebuah tanggapan aksi dari agama-agama dunia, organisasi sekular dan kekuatan-kekuatan politik”.

4.4.2. Hans Kung dan Proses Perumusan Deklarasi
Pada saat yang sama, di Universitas Tubingen, Jerman, Prof. Hans Kung memulai sebuah proyek yang kemudian pada tahun 1990 dikenal sebagai Projekt Weltethos. Pada tanggal 27 pebruari 1992, Dr. Daniel Gomez-Ibanes, Direktur Eksekutif CPWR, bertemu dengan Hans Kung dan mendapatkan kesempatan bahwa Kung akan membuat kertas kerja dasar yang akan dipakai dalam Parlemen dalam rangka perumusan A Global Ethic.

4.4.3. Pembentukan Council for a Parliament of the World’s Religions (CPWR)
Salah satu bentuk persiapan teknis yang paling penting adalah pembentukan Council for a Parliament of the World’s Religions (CPWR) pada musim semi tahun 1988.

4.4.4. Keterlibatan Co-Sponsor yang Majemuk
Persiapan Parlemen tersebut ternyata melibatkan cukup banyak orang dan kelompok. Tercatat adanya 198 kelompok yang menjadi co-sponsor dan diterima keberadaannya pada pembukaan Parlemen. Lima kelompok dari jumlah itu menarik diri selama Parlemen berlangsung. Dari jumlah yang ada, mayoritas (180 kelompok) berasal dari Amerika Serikat, sisanya dari Afrika, Asia dan Eropa.
4.4.5. Peran Komite Pelaksana
Komite Pelaksana (Host Committes) yang terbentuk pun mencerminkan kepelbagaian tradisi. Tercatat adanya 14 tradisi yang ikut serta dalam komite ini. Tugas dan pekerjaan Komite Pelaksana ini jelas memiliki dampak mendalam atas pelaksanaan Parlemen.
4.4.6. Para Peserta Parlemen
Parlemen 1993 ini dihadiri sekitar 8.700 peserta, yang terbagi menjadi 9 kategori. Enam persen dari seluruh peserta terdaftar pada dua atau lebih kategori. 57% peserta terdaftar dari Amerika Serikat; semua negara bagian, kecuali Alaska, terwakili. Kemudian terdapat sekitar 2% peserta Kanada. Lainnya berasal dari 55 negara di dunia. Semua agama-agama besar dan sebagian besar tradisi spiritual lainnya mengirimkan utusannya. Jumlah peserta terbesar dating dari Kristen, disusul Hindu, Buddha,Baha’i dan akhirnya Islam. Dari komposisi dan gambaran peserta ini kita bisa melihat dengan jelas mencakup lebih banyak peserta dan denominasi ketimbang Parlemen 1893. Di sisi lain data ini menunjukkan kenyataan adanya kepelbagaian yang amat bervariasi dalam kehidupan agama-agama di dunia.

4.4.7. Program Parlemen
Parlemen 1993 yang diadakan dari tanggal 28 Agustus sampai 4 September 1993 ini mengambil tempat di Palmer House Hilton Hotel. Program dimulai setiap pagi pada pukul 7 dengan meditasi khusus yang dirancang oleh anggota tradisi iman yang beragam. Kemudian program harian diakhiri setiap malam selambat-lambatnya pukul 11 dengan pertemuan yang meringkas pleno tematis setiap harinya serta pertunjukkan kreatif dari pelbagai tradisi iman. Selama seminggu, beberapa pleno tematis disampaikan, selain juga lebih dari 500 presentasi, kuliah dan lokakarya lainnya. Kita melihat bahwa Parlemen ini sungguh ingin menyajikan secara seimbang acara-acara yang bersifat akademis maupun religius, ilmiah maupun spiritual. Pleno Penutup kemudian disampaikan oleh Dalai Lama, yang kemudian dilanjutkan dengan sambutan Presiden Parlemen, catatan-catan penutup, sambutan-sambutan lain serta pertunjukan tari multicultural dan konser oleh Walter Whitman.

4.4.8. Presentasi Utama dalam Parlemen
Pada hari pertama, Dr. Gerald O. Barney mengejutkan para peserta dengan sebuah ceramah yang menarik tentang keadaan sosial, ekonomis dan ekologis dunia kontemporer. Barney menyimpulkan bahwa apa yang kini kita butuhkan adalah sebuah “pemikiran yang saling bergantung dalam jejaring kerja” (interdependent, networked thought). Mengabaikan agama-agama dalam sebuah analisis atas persoalan-persoalan sosial, ekonomis dan ekologis, demikian Barney, jelas merupakan sebuah kekeliruan besar. Ceramah lain yang menonjol dibawakan oleh Dr. Robert Muller, dosen University for Peace, Costa Rica. Muller mengimbau pula adanya dialog antara politik dan agama, antara ilmu pengetahuan dan spiritualitas. Ia menandaskan perlunya sebuah kelahiran spiritual ketika dunia memasuki millenium ketiga. Ceramah Dalai Lama, di lapangan terbuka di Grant Park, Chicago, agaknya menjadi presentasi yang paling mengagumkan. Pemenang Hadiah Nobel Perdamaian ini sebenarnya menyampaikan hal yang sama dengan ceramahnya yang sudah-sudah. Namun demikian kesan paling kuat yang didapatkan para pendengar justru adalah kepribadian Dalai Lama yang menurut Kuschel, mencerminkan otensitas dan kemanusiaannya.

4.4.9. Tema-Tema Utama Parlemen
Sedikitnya ada tiga tema utama yang bergaung di sepanjang pelaksanaan Parlemen yang dihadiri oleh sekitar 8.700 peserta itu. Tema pertama adalah pertanyaan mengenai identitas keagamaan. Tema kedua yang penting artinya adalah munculnya dialog antar-iman dan antar-tradisi yang amat kaya. Tema ketiga, yang justru dirasa menjadi dimensi paling menentukan bagi pelaksanaan Parlemen ini adalah perjumpaan agama-agama dunia dengan isu-isu kritis yang menantang komunitas manusia di ambang millennium ketiga ini. Itulah sebabnya pada tahun 1990, CPWR menjalin hubungan dengan the Institute for the 21th Century Studies, yang kemudian bernama the Millenium Institute, pimpinan Gerald O. Barney, untuk mengupayakan agar dimensi ini terus dikedepankan.

Terimakasih semoga bermanfaat.
TUHAN YESUS KRISTUS MEMBERKATI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar